BACOTANBOLA - Pep Guardiola adalah salah satu pelatih paling berpengaruh dalam sejarah sepakbola modern. Di balik kesuksesan tim-timnya, terdapat sebuah filosofi taktik yang mendalam: Positional Play (juego de posición). Bukan sekadar gaya bermain, juego de posición adalah seni menciptakan ruang, mengontrol tempo, dan mendikte pertandingan.

Dalam artikel ini, kita akan membedah bagaimana Guardiola menggunakan filosofi ini untuk menciptakan tim-tim dominan di Barcelona, Bayern Munich, dan Manchester City, serta dampaknya pada sepakbola global.

Menggali Filosofi Positional Play

Secara sederhana, positional play adalah pendekatan taktik yang menitikberatkan pada penguasaan bola dan pergerakan pemain untuk menciptakan keunggulan numerik dan ruang di berbagai zona lapangan. Intinya adalah bagaimana tim mendominasi pertandingan dengan:

1. Menciptakan superioritas jumlah di area tertentu.

2. Memanfaatkan ruang antar lini untuk menyerang dengan efektif.

3. Menarik lawan keluar dari posisinya sehingga menciptakan celah di lini pertahanan mereka.

Guardiola mewarisi filosofi ini dari gurunya, Johan Cruyff, yang mengembangkan Total Football di Barcelona. Namun, Guardiola menyempurnakan dan mengadaptasinya untuk kebutuhan sepakbola modern.

Barcelona: Harmoni di Lapangan (2008–2012)

Era Barcelona di bawah Guardiola sering disebut sebagai puncak implementasi positional play. Dengan pemain seperti Xavi, Iniesta, dan Lionel Messi, Guardiola menciptakan tim yang mampu mengontrol bola hingga 70–80% dalam satu pertandingan.

 • Kunci Taktik di Barcelona:

     1. Pola 4-3-3 dengan Trio Midfield Dinamis: Xavi sebagai pengatur tempo, Iniesta sebagai penghubung lini tengah dan depan, serta Sergio Busquets sebagai jangkar yang melindungi lini belakang.

     2. Peran Messi sebagai False 9: Messi sering bergerak turun ke lini tengah untuk menarik bek lawan keluar dari posisinya, menciptakan ruang bagi pemain lain seperti Pedro atau David Villa untuk menyerang.

     3. Overload dan Switch Play: Barcelona sering kali memadatkan permainan di satu sisi lapangan (overload) untuk menarik pertahanan lawan, lalu dengan cepat memindahkan bola ke sisi lain yang lebih terbuka (switch play).

 • Hasilnya adalah dominasi luar biasa, termasuk treble winner pada 2008/09 dan gelar Liga Champions yang mengesankan pada 2011.

Bayern Munich: Adaptasi Filosofi di Bundesliga (2013–2016)


Di Bayern, Guardiola menghadapi tantangan baru: bagaimana mengadaptasi positional play dalam liga dengan gaya permainan yang lebih fisik dan langsung.

 • Inovasi di Bayern Munich:

     1. Bek Tengah yang Progresif: Guardiola mengubah peran bek tengah seperti Jerome Boateng untuk aktif membantu membangun serangan dari belakang, menciptakan keunggulan angka di lini tengah.

     2. Full-Back Inversi: Philipp Lahm dan David Alaba sering bermain lebih ke dalam sebagai gelandang tambahan, menciptakan keunggulan di lini tengah dan melindungi tim dari serangan balik.

     3. Rotasi Posisi: Pemain seperti Thomas Müller diberi kebebasan untuk bergerak mencari ruang (raumdeuter), sementara pemain lain seperti Arjen Robben dan Franck Ribéry menyerang dari sayap.

 • Meski gagal meraih Liga Champions, filosofi Guardiola membawa Bayern ke dominasi domestik dan menetapkan standar baru di Bundesliga.

Manchester City: Evolusi dan Penyempurnaan (2016–Sekarang)

Di Manchester City, Guardiola memiliki kendali penuh untuk membangun tim idealnya. Dengan dukungan finansial besar, ia menyusun skuad yang mampu mengeksekusi positional play secara sempurna.

 • Implementasi di Manchester City:

     1. Build-Up dari Kiper: Ederson, dengan kemampuan distribusi bola yang luar biasa, menjadi titik awal serangan City. Bola sering dimainkan dari belakang untuk menarik tekanan lawan dan menciptakan ruang di lini tengah.

     2. Inverted Full-Backs: Full-back seperti João Cancelo sering bermain lebih ke dalam, membantu lini tengah dan menciptakan keunggulan jumlah di area kunci.

     3. Rotasi di Lini Tengah: Kevin De Bruyne dan Ilkay GündoÄŸan sering bertukar posisi, memberikan fleksibilitas dalam menyerang dan menjaga struktur defensif.

     4. Overload Sayap: Pemain sayap seperti Raheem Sterling atau Riyad Mahrez sering kali mendapatkan dukungan dari gelandang dan full-back untuk menciptakan ancaman di sisi lapangan.

 • Hasilnya adalah dominasi di Premier League, termasuk empat gelar liga dalam lima musim (hingga 2023) dan treble winner pada musim 2022/23.

Dampak Positional Play pada Sepakbola Modern

Guardiola telah mengubah cara tim-tim di seluruh dunia memandang penguasaan bola dan ruang. Filosofinya memengaruhi banyak pelatih, seperti Mikel Arteta di Arsenal, Xavi Hernandez di Barcelona, hingga Roberto De Zerbi di Brighton.

Namun, positional play juga menghadapi kritik, terutama dari mereka yang lebih menyukai sepakbola langsung dan fisik. Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan ini bisa menjadi terlalu mekanis, menghilangkan spontanitas dari permainan.

Kesimpulan: Guardiola, Maestro Sepakbola Modern

Pep Guardiola adalah lebih dari sekadar pelatih; ia adalah seorang seniman yang menciptakan simfoni sepakbola melalui positional play. Dengan fokus pada detail, struktur, dan penguasaan bola, ia telah menginspirasi generasi baru pelatih dan pemain untuk melihat sepakbola sebagai permainan ruang dan harmoni.

Dalam dunia di mana hasil sering kali menjadi prioritas utama, Guardiola menunjukkan bahwa cara mencapai kemenangan sama pentingnya dengan kemenangan itu sendiri. Juego de posición adalah warisan yang akan terus hidup, bahkan setelah Guardiola meninggalkan lapangan. (mfrll)